"Dengan tetap memperhatikan hukum & perundang-undangan serta kode etik "posting" yang santun yaitu dengan mencantumkan nara sumber aslinya, kiranya penyebarluasan informasi, pendidikan ataupun perkembangan iptek tidak perlu terhalang semata alasan pranata hukum HaKI, sebagaimana dijamin oleh hukum & peraturan perundang-undangan sebagai bentuk pengecualian (Pasal 15 UU No 19 Tahun 2002)"

Renungan Bulan Ini...

"Tiada yang lebih baik dari dua kebaikan : Beriman pada Allah dan bermanfaat bagi manusia. Tiada yang lebih buruk dari dua kejahatan : Syirik pada Allah dan merugikan manusia" (dari berbagai sumber)

the holy qur'an

Hari Ini Dalam Lintasan Sejarah

Wednesday, March 3, 2010

"Menikmati" Kesulitan Hidup

Posted by : 
Ahmad Arafat
Jakarta, 29 Juni 2009 [1:42 AM]
http://ahmadarafata.blogspot.com

Sore tadi waktu main ke PIM (Pondok Indah Mall) 1 mampir ke Gramedia...
Setelah searching-searching, nemu buku yang menarik hati...

Judulnya: "The Road Less Travelled", karangan M. Scott Peck, terbitan UFUK Publishing. (Note: gambar di bawah hanya ilustrasi, bukan menggambarkan cover buku yang sebenarnya).


Agak kaget pas liat buku tersebut.
Serasa de javu dengan judulnya, dan juga nama pengarangnya.
saya ingat betul, di sebuah tulisan (karya ilmiah) yang pernah saya buat, ada kutipan perkataan (quote) dari si M. Scott Peck yang dicuplik dari buku yang sama: "The Road Less Travelled". Saat itu quote itu hanya dipakai sebagai pelengkap tulisan dan penutup paragraf aja.

saya kira buku yang dirujuk itu ("The Road Less Travelled", kita singkat aja TRLT biar gampang yaa?) adalah buku serius, berat, dan berbau-bau social-political, secara karya tulis yang waktu itu saya buat bertemakan tentang "Civil Society". Ternyata, pas tadi baca-baca bukunya di Gramedia --setelah melihat langsung rujukan aslinya-- buku ini termasuk kategori PSIKOLOGI.. Wah, saya  paling suka ama buku-buku berkategori Psikologi dengan genre motivasi/inspirasi/refleksi seperti ini...

Buat yakinin diri...saya  coba baca dari depan --setelah saya baca komentar dan pujian di halaman belakang.

Ternyata struktur tulisannya sederhana: buku setebal 416 halaman ini hanya terdiri dari empat bab/bagian saja. Pada bagian pertama yang berjudul "DISIPLIN" terdapat berbagai sub-bagian dengan judul yang bervariasi. Bagian kedua diberi judul "CINTA", serta "PERKEMBANGAN" dan "BERKAH" di urutan ketiga dan pamungkas.

saya langsung buka halaman pertamanya...

Di bab 1 : DISIPLIN, pada sub-bagian pertamanya terpampang judul berikut: "Masalah dan Rasa Sakit". Sampai membaca judul itu belum ada yang spesial. Tapi apa yang tertulis selanjutnya lebih menggugah dan "mencerahkan".

Pada paragraf pertama, yang hanya memiliki satu kalimat, tertulis :

"Hidup itu sulit."

Beuhhh... Disini perasaan dan fikiran saya terhenyak!
Sambil membatin aku berkata: "ini tulisan kok NEGATIVE THINKING amat yaa...kagak salah tuh?"

Namun, mengikuti silogisme dan deskripsi berikutnya dalam tulisan ini membuat aku terkesan dan tak bisa untuk tidak setuju...

Penulis memaparkan dengan lugas bahwasanya seringkali manusia membayangkan bahwa "seolah-olah hidup itu biasanya mudah, seolah-olah hidup itu seharusnya [dijalani dengan] mudah [saja]". Maka ketika hidup kita dihadapkan dengan berbagai masalah --yang menurut penulis "hidup adalah serangkaian masalah"-- otomatis rasa sakitlah yang ditimbulkan... Dan seperti setiap orang normal lainnya, saya dan Anda tentu tidak suka dengan rasa "sakit" ini..

Dari sini, ketika masalah sudah dianggap sebagai "biang rasa sakit", beragam carapun diambil sebagai pelarian terhadap gangguan "rasa sakit" tersebut.. Parahnya, kebanyakan manusia berusaha menghilangkan "rasa sakit" itu (bukan "masalah"nya) dengan cara pandang yang tidak semestinya digunakan. Dan cara pandang seperti ini pada gilirannya membuat hidup menjadi [lebih] sulit. Ini karena cara pandang tersebut meyakini bahwa PROSES menghadapi [maupun dalam rangka "menyelesaikan"] berbagai permasalahan adalah sesuatu yang menyakitkan. Berikutnya yang muncul adalah serangkaian mata-rantai permasalahan-permasalahan baru yang -tentunya- membuat hidup menjadi terasa jauh lebih sulit dan kompleks untuk dijalani.. Depresi, frustasi, kesedihan, kedukaan, kesepian, dan lain sebagainya adalah contoh "efek berantai" dari masalah tersebut.

Jadi, alih-alih untuk menghadapi masalah-hidup dengan berani dan jujur, acapkali kita terjebak pada "jalan singkat" (shortcut) yang membutakan mata [hati dan pikiran]. Dengan berharap bahwa "jalan singkat" itu akan membuat kita "lebih cepat merasa lebih baik", kita pun membenarkan berbagai penyangkalan dan pengingkaran kita terhadap fakta kehidupan yang paling murni: bahwa hidup itu sulit. bahwa hidup tak selamanya indah.

Menurut penulis, fakta "ini adalah sebuah kebenaran luar biasa, dan salah satu kebenaran terbesar [dalam kehidupan umat manusia]. Begitu kita mengakui kebenaran ini, maka sebenarnya kita telah bisa [minimal, menurutku, LEBIH SIAP] mengatasi kesulitan itu. Begitu kita benar-benar memahami dan menerima bahwa hidup itu sulit, maka hidup menjadi lebih mudah untuk dijalani. Sebab, kita telah bisa menerima fakta tersebut sehingga hal itu tidak lagi menjadi masalah".

Namun demikian, kebanyakan orang tidak melihat kebenaran ini secara utuh. Dengan demikian, sebagian besar orang-orang tidak memahami hakikat dari fakta-kehidupan tersebut. Bahwa sesungguhnya "masalah adalah keuntungan menyakitkan yang membedakan antara keberhasilan dan kegagalan" - atau dengan kata lain, menurut bahasa saya sendiri, "masalah adalah mekanisme alami untuk membedakan mana 'pemenang' mana 'pecundang'.. masalah adalah prosedur sejati untuk menentukan siapa saja dari kita yang telah belajar dari [masalah] hidup dan menjadi dewasa serta bijak karenanya".

Memahami konsepsi tersebut di atas tentulah amat sukar bagi mereka yang masih memandang setiap "masalah kehidupan" sebagai sebuah 'masalah' -- yang dalam konteks ini dicirikan dengan adanya symptom/gejala "rasa sakit" (mulai dari bentuknya yang paling ringan, yakni sekedar "keluhan", hingga yang paling akut; depresi, frustasi, paranoid, dst.). Makanya, sejak awal, penulis TRLT telah menyodorkan sebuah pegangan penting untuk memahami dan memecahkan setiap masalah yang mungkin melanda kita. DISIPLIN. Inilah ide pertama dan utama yang dianjurkan oleh penulis pada kita. Penulis ini yakin, bahwa disiplin adalah seperangkat peralatan dasar yang diperlukan untuk mengatasi permasalahan hidup. Tanpa disiplin, jelasnya, kita tidak [akan] dapat memecahkan dan menyelesaikan apapun!

**

Nah, sampai disini saya sejenak mencoba untuk berkontemplasi, mengambil refleksi, dan melakukan sedikit elaborasi...

Terasa sebuah kebenaran universal dari apa yang dikatakan oleh penulis TRLT. Bahwa ia menyatakan "hidup itu sulit", bukanlah sesuatu yang mengejutkan bagi saya... Saya sendiri, sebagaimana juga besar kemungkinan Anda, melalui pengalaman hidup yang spesifik dan unik dari tiap-tiap individu, bisa segera memahami dan menyadari bahwa hidup ini sungguh tidak mudah...

"Cari hidup itu susah, bung!", kata para kernek bus yang sibuk berjuang memeras keringat dan membanting tulang --hampir-hampir dalam arti literal yang sebenarnya-- setiap harinya..

"Cari kerja itu gak gampang jaman sekarang!", ujar para pengangguran lulusan perguruan tinggi yang jumlahnya kian meninggi dewasa ini..

Begitulah, kita dihentakkan dengan berbagai fenomena dan kenyataan di sekitar dan tengah-tengah kita bahwa terlepas dari berbagai "keindahan dan kenikmatan hidup" --yang biasanya hanya dinikmati segelintir kalangan manusia-- hidup ini ternyata menyebalkan! LIFE IS SUCKS!

Tapi tunggu dulu.. kalo memang demikian adanya, lalu apa yang salah???

CARA PANDANG kita lah yang salah, kawan...

Ya, orang-orang yang berakal dan berkeyakinan lurus akan mudah memahami bahwa hidup di dunia -yang sementara ini- hanyalah gemblengan, ujian, dan saringan bagi kita: untuk menentukan sejauh mana kita bisa memeroleh pelajaran, memahami kebijaksanaan, dan menapaki tangga-tangga kemuliaan. Dan hidup inilah panggung sandiwara akbar untuk melihat siapa yang memerankan peran antagonis, siapa yang beruntung mendapatkan peran protagonis...

Kalau kita menerima premis yang menyatakan bahwa "hidup setelah mati adalah sesuatu yang pasti", maka tak akan terlalu sulit bagi kita untuk menerima kenyataan hidup bahwa ia (hidup) itu dipenuhi dengan berbagai kesulitan. Maka, seyogyanya, ketika kita mendapati bahwa "hidup itu sulit", kita pun memahaminya dengan sebuah alasan: "karena hidup adalah ujian". Celakanya, masih ada saja orang-orang yang sakit, yang menolak memahami hal ini, karena pikiran dan hatinya telah dipenuhi berbagai nafsu yang mendorongnya untuk hanya menjalani kehidupan "yang enak-enak saja"... Walhasil, ketika sedikit kesulitan menerpa, kita melihat orang-orang ini begitu sering mengeluh, begitu cepat bermuram durja, begitu gandrung untuk mencari berbagai 'pelarian' ataupun 'jalan pintas' atas berbagai masalahnya...

Saya setuju bahwa DISIPLIN adalah kekuatan dasar yang harus kita miliki untuk berhadapan dengan berbagai jenis masalah... Tanpanya, semua usaha akan terlihat sia-sia dan tak bermakna... Namun, saya rasa penulis kurang memasukkan unsur transedental/spiritual dalam pembahasan ini. Yakni bahwa setiap orang yang beragama (beriman) meyakini bahwa ada "hari esok", hari untuk mendapatkan pembalasan (entah berupa "punishment" or "reward") atas semua yang telah kita lakukan di dunia. Bahwa pada awalnya, nenek moyang manusia (Adam dan Hawa) diturunkan dari surga yang indah dan penuh kenikmatan hanya karena berbuat satu kesalahan --atau, saya lebih mau menyebutnya, "hanya karena gagal melalui satu kesulitan".

Maka sepantasnyalah kita memandang "masalah" sebagai 'bukan masalah' (Problem?? No problemo!). Dengan demikian, masalah bukanlah sesuatu yang dianggap TABU ataupun begitu MENAKUTKAN... Masalah adalah "peluang", "kesempatan" dan "ajang" untuk mengungkap jati diri sejati kita --apakah kita termasuk "pemenang" ataukah "pecundang"?-- untuk mengetahui sampai dimana tingkat kesadaran dan kebijaksanaan kita, dan untuk mengukur dan menentukan sendiri "derajat" kemuliaan kita di antara sesama manusia dan di Mata-Nya.

Maha Suci ALLAH yang berbelas abad yang lalu telah menggariskan konsepsi yang serupa dengan yang dinyatakan oleh M. Scott Peck ini. Di dalam Al-Qur'an surah Al-Insyirah (Kelapangan/Kemudahan) disebutkan dengan gamblang bahwa :


"DAN SESUNGGUHNYA BERSAMA KESULITAN
ADA KEMUDAHAN. SESUNGGUHNYA DI BALIK KESULITAN ITU
ADA KEMUDAHAN".

Bukan main! Ayat tersebut sudah menunjukkan kepada kita bahwa "kesulitan" itu memang harus dihadapi, dan ketika kita menghadapinya, niscaya yang kita dapatkan adalah jawaban (kemudahan/jalan keluar) dari masalah tersebut. Ada fakta yang menarik memerhatikan susunan kalimat ayat itu.

Pertama, kalimat :
SESUNGGUHNYA BERSAMA KESULITAN ADA KEMUDAHAN diulang sebanyak dua kali. Adanya unsur pengulangan ini menyiratkan bahwa yang namanya kesulitan pasti akan silih berganti dan berulang-ulang "menyapa" hari-hari kita. Jika sesuatu itu disebut berulang kali, tentunya hal yang diulang-ulang itu adalah hal yang penting untuk diperhatikan. Dan ketika masalah "kesulitan" ini ditekankan secara berulang, maka sepertinya kita harus menyadari bahwa perkara "kesulitan/masalah hidup" sejatinya adalah perkara yang amat sangat penting dalam perjalanan hidup manusia...

Kedua, mendahulukan menyebut kata "kesulitan" (baca: masalah) daripada kata "kemudahan" sebagai lawannya. Agak aneh melihat hal ini, sebab, sependek pengetahuan saya, Al-Qur'an adalah salah satu kitab yang "sangat optimistis" (contoh: kabar tentang orang-orang beriman/beruntung senantiasa didahulukan dari golongan lawannya, perkara kebaikan selalu diutamakan disebutkan sebelum perkara keburukani). Al Qur'an bisa saja berkata: "Kemudahan selalu menyertai kesulitan", "kemudahan selalu ada di balik kesulitan"... toh artinya sama saja, bukan?? Namun, di sinilah saya sepertinya menemukan satu lagi bentuk ke-mukjizat-an kitab suci Al Qur'an: bahwa ia memberikan kita satu rahasia... Dan rahasia itu adalah bahwa: kita tidak akan pernah memperoleh kemudahan/jalan keluar dalam bentuk apapun sebelum kita melalui (menghadapi) masalah tersebut. Intinya, "masalah ada untuk dihadapi, bukan untuk diratapi, bukan untuk 'dicueki'...". Wah, kembali mengaitkan persepsi ini dengan konsepsi mister M. Scott Peck sebagaimana dalam 'ulasan buku' di atas akan menunjukkan kepada kita keserupaan-pandangannya...

Ketiga, "the last but not least", Al Qur'an --khususnya dalam surah Al-Insyirah-- mengajarkan kepada kita untuk senantiasa POSITIVE THINKING... Lihatlah, surah ini dinamai surah "kelapangan/kemudahan", bukan dinamai dengan surah "kesempitan/kesulitan" --padahal isinya bercerita tentang dua hal tersebut. Inilah satu lagi karakter sejati kitab suci ini, yang menjadi pandu bagi orang-orang yang menjaga kalbu, bahwa ia memberikan kita motivasi/inspirasi dengan "perkataan yang baik". Dan perkataan manakah yang lebih baik daripada perkataan yang menyiratkan OPTIMISME maupun POSITIVE THINKING???

Well, Anda tentu belum puas dengan kolaborasi tulisan ini... Saya pun belum puas.. Saya baru memulai perjalanan untuk membaca, menekuri, dan memelajari kandungan di dalam buku TRLT tersebut. Jika Anda adalah orang yang peduli dengan diri sendiri, dan dengan masa depan yang akan disongsong nanti, saya sarankan Anda untuk ikut membaca buku berharga ini. *Maaf, bukan titipan pesan sponsor lho... :D

Setidaknya, saya masih harus membuktikan pujian yang dialamatkan pada buku TRLT ini :

"Buku ini seperti magnet spontan untuk menumbuhkan kebahagiaan sejati".
~The Washington Post~

"Barangkali tidak ada buku pada generasi sekarang ini yang mampu memberikan dampak yang begitu besar seperti The Road Less Travelled. Singkatnya, buku ini sebanding dengan Think & Grow Rich karya Napoleon Hill karena banyak buku psikologi generasi sekarang mengutip
The Road Less Travelled".

Membaca komentar kedua ini, membuat saya agak tergelitik oleh dua hal. Pertama, Buku ini disebut-sebut sejajar (sebanding) dengan "Think & Grow Rich"nya Napoleon Hill. Saya bertanya-tanya, seperti (atau, sebagus) apa gerangan buku Napoleon Hill itu??? Sebab, meski tahu ada buku itu, saya belum sempat (baca: mau) untuk membacanya... Dan kedua, dikatakan buku (TRLT) ini banyak dikutip dimana-mana. Dari sini saya menjadi penasaran, kira-kira, perkataan M. Scott Peck yang saya kutip dari buku TRLT itu ada di bagian mana yaa??

Anda mau tahu apa kutipan yang saya ambil dan masukkan dalam tulisan saya dulu??
Perkataannya kurang lebih seperti ini --semoga saya tidak terlalu lupa:

"Masalah besar yang menimpa seseorang manusia (ataupun, sebuah bangsa) ialah berfikir secara sempit/parsial. Bahkan [bisa jadi] kegagalan untuk berfikir sama sekali. Inilah akar masalah dari berbagai masalah yang kita hadapi."

Kurang lebih seperti itu kutipannya... Well, saya tidak mau mengecewakan diri sendiri...
Saya ingin terus melanjutkan membaca dan menyerap saripati ilmu dan intisari kebijaksanaan yang dikandung buku TRLT ini..

Semoga setelah habis melahapnya, akan ada kesadaran baru, yang berujung pada perubahan perilaku (menjadi lebih baik), perbaikan pola hidup, dan di atas segalanya --seperti yang buku ini janjikan-- mampu "menyulap Anda menjadi pribadi yang menakjubkan sekaligus mengantarkan Anda menuju kedamaian dan kesempurnaan hidup". Terlalu ambisius dan klise kedengarannya, memang... Namun, ahh, aku tak ambil pusing... Ini toh bukan masalah bagiku...

Remember: "PROBLEM?? NO PROBLEMO!!"... :D

Salam Perubahan demi Perbaikan...


No comments:

Post a Comment

Tulisan ini terbuka untuk dikomentari, dikritik demi perbaikan di kemudian hari

Reviews Software Free Download

findtoyou.com

How Speed U Are???